Etika komunikasi dalam reformasi pelayanan sipil dan publik dirasakan penting untuk diketahui dan dilakukan agar tujuan dari reformasi dapat terwujud karena proses komunikasi senantiasa menjadi kegiatan yang dilakukan antara sipil dan publik dengan aparat birokrat selama penyelenggaraan pelayanan. Proses komunikasi ini merupakan salah satu bagian penting yang selama ini masih dianggap kurang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam pelaksanaan pelayanan.
Melalui artikel ini penulis akan berusaha menjawab beberapa fenomena yang terjadi sesuai dengan yang telah diuraikan diatas melalui beberapa konsep teoritis tentang konsep etika, konsep komunikasi, konsep etika pelayanan sipil dan publik, serta konsep etika komunikasi dalam reformasi pelayanan sipil dan publik.
Pengertian Etika
Etika didefinisikan sebagai usaha yang sistematis dengan menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individual, dan sosial, sehingga dapat menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai yang berbobot untuk dapat dijadikan sasaran dalam hidup.
Etika berasal dari bahasa yunani yaitu “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat kebiasaan di mana etika berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Lalu masih terkait dengan etika yaitu, etiket adalah suatu sikap seperti sopan santun atau aturan lainnya yang mengatur hubungan antara kelompok manusia yang beradab dalam pergaulan.
Aristoteles memberikan istilah Ethica yang meliputi dua pengertian yaitu etika meliputi Ketersediaan dan Kumpulan peraturan, dalam bahasa Latin dikenal dengan “Mores” yang artinya kesusilaan, tingkat salah satu perbuatan (lahir, tingkah laku). Lalu “Mores” berkembang menjadi “Moralitas” yang artinya kesediaan jiwa akan kesusilaan ( Wijaya : 1997 ). Terkait dengan topik pelayanan sipil dan publik maka moralitas ini dapat kita hubungkan dengan moralitas aparat birokrat dalam melakukan pelayanan. Moral dapat terjadi bila dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral bila tidak ada masyarakat dan syogyanya tidak ada masyarakat tanpa moral ( Wijaya : 1985 ).
Etika adalah instrumen dalam masyarakat untuk menuntun tindakan ( perilaku ) agar mampu menjalankan fungsi dengan baik dan dapat lebih bermoral ( Haryanto : 2002 ). Artinya etika dapat dipahami sebagai norma dan aturan yang mengatur perilaku seseorang dalam bertindak dan memainkan perannya sesuai dengan aturan main yang ada dalam masyarakat agar dapat dikatakann tindakannya bermoral ( Syafhendri, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial : 2008 ).
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas terkait dengan pengertian etika maka dapat diartikan bahwa etika terkait dengan moralitas. Moralitas itu sendiri dikaitkan dengan masyarakat, tidak ada moral jika tidak ada masyarakat dan tidak ada masyarakat tanpa moral. Di dalam moralitas terdapat nilai-nilai normative yang kemudian dapat dilanjutkan sebagai etika.
Komunikasi
Komunikasi berasal dari bahasa latin “communis” atau ‘common” dalam Bahasa Inggris yang berarti sama. Berkomunikasi berarti kita berusaha untuk mencapai kesamaan makna, “commonness”. Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita mencoba berbagi informasi, gagasan atau sikap kita dengan partisipan lainnya. Kendala utama dalam berkomunikasi adalah seringkali kita mempunyai makna yang berbeda terhadap lambang yang sama.
Manusia di dalam kehidupannya harus berkomunikasi, artinya memerlukan orang lain dan membutuhkan kelompok atau masyarakat untuk saling berinteraksi. Hal ini merupakan suatu hakekat bahwa sebagian besar pribadi manusia terbentuk dari hasil integrasi sosial dengan sesama dalam kelompok dan masyarakat. Di dalam proses penyelenggaraan pelayanan sipil dan publik menyangkut dengan kepuasan sipil dan publik, yang terdiri dari sipil dan publik dengan aparat birokrat di antara kedua belah pihak harus ada two-way-communications atau komunikasi dua arah atau komunikasi timbal balik, untuk itu diperlukan adanya kerja sama yang diharapkan untuk mencapai cita-cita, baik cita-cita pribadi, maupun kelompok. Kerja sama tersebut terdiri dari berbagai maksud yang meliputi hubungan sosial/kebudayaan. Hubungan yang terjadi merupakan suatu proses adanya suatu keinginan masing-masing individu, untuk memperoleh suatu hasil yang nyata dan dapat memberikan manfaat untuk kehidupan yang berkelanjutan.
Berdasarkan sifat komunikasi dan jumlah komunikasi menurut Onong Uchyana Effendi, dalam bukunya “Dimensi-Dimensi Komunikasi” hal. 50, komunikasi dapat digolongkan ke dalam tiga kategori:
1. Komunikasi antar pribadi
Komunikasi ini penerapannya antara pribadi/individu dalam usaha menyampaikan informasi yang dimaksudkan untuk mencapai kesamaan pengertian, sehingga dengan demikian dapat tercapai keinginan bersama.
2. Komunikasi kelompok
Pada prinsipnya dalam melakukan suatu komunikasi yang ditekankan adalah faktor kelompok, sehingga komunikasi menjadi lebih luas. Dalam usaha menyampaikan informasi, komunikasi dalam kelompok tidak seperti komunikasi antar pribadi.
3. Komunikasi massa
Komunikasi massa dilakukan dengan melalui alat, yaitu media massa yang meliputi cetak dan elektronik.
Terkait dengan masalah etika komunikasi dalam reformasi pelayanan sipil dan publik, komunikasi yang dilakukan antara sipil dan publik dengan aparat birokrat sangat diperlukan usaha yang serius dalam penyampaian informasi sehingga tercipta kesamaan pengertian dan tidak menimbulkan persepsi negatif yang mengarah pada ketidakpuasan. Komunikasi yang dilakukan antara sipil dan publik dengan aparat birokrat seyogyanya adalah masuk pada dimensi komunikasi antar individu dan komunikasi kelompok. Dimana secara individu mereka saling bertemu secara langsung, bertatap muka melakukan komunikasi terkait dengan pelayanan dan juga terkadang kala mereka bertemu dalam dimensi komunikasi kelompok yang sifat komunikasinya menjadi lebih luas.
Dalam melakukan komunikasi, Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss dalam Human Communication menguraikan adanya 3 (tiga) model dalam komunikasi:
1. Model komunikasi linier (one-way communication), dalam model ini komunikator memberikan suatu stimuli dan komunikan melakukan respon yang diharapkan tanpa mengadakan seleksi dan interpretasi. Komunikasinya bersifat monolog.
2. Model komunikasi interaksional. Sebagai kelanjutan dari model yang pertama, pada tahap ini sudah terjadi feedback atau umpan balik. Komunikasi yang berlangsung bersifat dua arah dan ada dialog, di mana setiap partisipan memiliki peran ganda, dalam arti pada satu saat bertindak sebagai komunikator, pada saat yang lain bertindak sebagai komunikan.
3. Model komunikasi transaksional. Dalam model ini komunikasi hanya dapat dipahami dalam konteks hubungan (relationship) antara dua orang atau lebih. Pandangan ini menekankan bahwa semua perilaku adalah komunikatif. Tidak ada satupun yang tidak dapat dikomunikasikan.
Berdasarkan model-model komunikasi diatas maka dapat dikaitkan dengan masalah etika komunikasi dalam reformasi pelayanan sipil dan publik hendaknya tercipta model komunikasi yang interaksional dan transaksional agar tercipta dialog dalam konteks hubungan antara dua orang atau lebih yang mengarah pada hal positif sehingga proses penyampaian informasi menjadi lebih jelas, akurat dan benar karena tidak ada satupun yang tidak dapat dikomunikasikan.
Arus komunikasi dalam organisasi dalam hal ini lingkungan pemerintahan meliputi komunikasi vertikal dan komunikasi horisontal. Masing-masing arus komunikasi tersebut mempunyai perbedaan fungsi yang sangat tegas.
Ronald Adler dan George Rodman dalam buku Understanding Human Communication, mencoba menguraikan masing-masing, fungsi dari kedua arus komunikasi dalam organisasi tersebut sebagai berikut:
1. Downward communication, yaitu komunikasi yang berlangsung ketika orang-orang yang berada pada tataran manajemen / pimpinan mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi dari atas ke bawah ini adalah:
a) Pemberian atau penyimpanan instruksi kerja (job instruction)
b) Penjelasan dari pimpinan tentang mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan (job retionnale)
c) Penyampaian informasi mengenai peraturan-peraturan yang berlaku (procedures and practices)
d) Pemberian motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik.
2. Upward communication, yaitu komunikasi yang terjadi ketika bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah:
a) Penyampaian informai tentang pekerjaan pekerjaan ataupun tugas yang sudah dilaksanakan
b) Penyampaian informasi tentang persoalan-persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan oleh bawahan
c) Penyampaian saran-saran perbaikan dari bawahan
d) Penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya sendiri maupun pekerjaannya.
3. Horizontal communication, yaitu tindak komunikasi ini berlangsung di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan yang setara. Fungsi arus komunikasi horisontal ini adalah:
a) Memperbaiki koordinasi tugas
b) Upaya pemecahan masalah
c) Saling berbagi informasi
d) Upaya pemecahan konflik
e) Membina hubungan melalui kegiatan bersama.
Terkait dengan masalah komunikasi antara sipil dan publik dengan aparat birokrat dalam memberikan pelayanan arus komunikasi berlangsung secara vertikal dan horisontal. Arus komunikasi vertikal terjadi ketika pimpinan aparat birokrat memberikan informasi instruksi kerja kepada petugas pelaksana agar melakukan pekerjaan sesuai dengan instruksi, arahan dan penjelasan yang diberikannya dan selanjutnya bawahan menyampaikan informasi terkait dengan pekerjaan yang sudah dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak sipil dari para warga negara dan masyarakat. Arus komunikasi horisontal juga terjadi ketika para petugas aparat birokrat berhadapan berkomunikasi secara langsung dengan para sipil dan publik dalam rangka pemenuhan hak-hak sipil dan hak-hak publik mereka.
Arus komunikasi yang seharusnya terjadi jelas tidak hanya pada pertemuan antara sipil dan publik dengan petugas aparat yang berada di front liner saja tetapi mengalir secara sistematis baik secara vertikal dan horisontal sehingga informasi yang disampaikan dapat disampaikan secara lebih baik, akurat, jelas dan dapat dipertanggung jawabkan satu sama lain.
Proses Komunikasi
Pada tataran teoritis, paling tidak kita mengenal atau memahami komunikasi dari dua perspektif, yaitu:
- Perspektif Kognitif. Komunikasi menurut Colin Cherry, yang mewakili perspektif kognitif adalah penggunaan lambang-lambang (symbols) untuk mencapai kesamaan makna atau berbagi informasi tentang satu objek atau kejadian. Informasi adalah sesuatu (fakta, opini, gagasan) dari satu partisipan kepada partisipan lain melalui penggunaan kata-kata atau lambang lainnya. Jika pesan yang disampaikan diterima secara akurat, receiver akan memiliki informasi yang sama seperti yang dimiliki sender, oleh karena itu tindak komunikasi telah terjadi.
- Perspektif Perilaku. Menurut BF. Skinner dari perspektif perilaku memandang komunikasi sebagai perilaku verbal atau simbolik di mana sender berusaha mendapatkan satu efek yang dikehendakinya pada receiver. Masih dalam perspektif perilaku, FEX Dance menegaskan bahwa komunikasi adalah adanya satu respons melalui lambang-lambang verbal di mana simbol verbal tersebut bertindak sebagai stimuli untuk memperoleh respons. Kedua pengertian komunikasi yang disebut terakhir, mengacu pada hubungan stimulus respons antara sender dan receiver.
Setelah kita memahami pengertian komunikasi dari dua perspektif yang berbeda, kita mencoba melihat proses komunikasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan sipil dan publik. Menurut Jerry W. Koehler dan kawan-kawan, perspektif perilaku dipandang lebih praktis karena komunikasi bertujuan untuk mempengaruhi penerima (receiver). Satu respons khusus diharapkan oleh pengirim pesan (sender) dari setiap pesan yang disampaikannya. Ketika satu pesan mempunyai efek yang dikehendaki, bukan suatu persoalan apakah informasi yang disampaikan tersebut merupakan tindak berbagi informasi atau tidak. Permasalahannya adalah ketika sipil dan publik dengan petugas aparat melakukan komunikasi terkait penyelenggaraan pelayanan, petugas aparat yang berada sebagai posisi pengirim pesan terkait dengan segala informasi pelayanan kurang melakukan perannya dengan baik. Misalnya saja, petugas aparat cenderung melakukannya dengan kurang ramah, kurang terbuka menyampaikan informasi, berbelit-belit dengan dalih alasan yang kurang rasional dan lain-lain sehingga efek pesan yang dikehendaki kurang mengena kepada penerima pesan dalam hal ini sipil dan publik. Komunikasi sederhana yang sudah seharusnya dilakukan dengan baik adalah seperti menyapa, baik secara langsung ataupun melalui telepon merupakan hal kecil yang dapat berefek luar biasa kedepannya.
Etika Komunikasi
Berikut di bawah ini adalah beberapa etika dan etiket dalam berkomunikasi antar manusia dalam kehidupan sehari-hari : Jujur tidak berbohong, Bersikap Dewasa tidak kekanak-kanakan, Lapang dada dalam berkomunikasi, Menggunakan panggilan / sebutan orang yang baik, Menggunakan pesan bahasa yang efektif dan efisien, Tidak mudah emosi / emosional, Berinisiatif sebagai pembuka dialog, Berbahasa yang baik, ramah dan sopan, Menggunakan pakaian yang pantas sesuai keadaan, Bertingkah laku yang baik.
Berdasarkan hal ini aparat birokrat yang bertugas memberikan pelayanan kepada sipil dan publik dalam rangka pemenuhan hak-haknya sudah seharusnya menerapkan etika berkomunikasi sesuai dengan yang diuraikan diatas. Aparat birokrat dalam melayani sipil dan publik selama penyelenggaraan pelayanan harus mampu lebih dahulu berinisiatif sebagai pembuka dialog misalnya melalui sapaan-sapaan sederhana seperti “Selamat Pagi”, atau “Ada yang bisa kami bantu ?”. Berbahasa dengan baik, ramah, sopan, tidak emosional serta jujur apa adanya dalam menyampaikan informasi akan memberikan kesan atau efek yang menyenangkan bagi siapa saja. Bertingkah laku baik sebagai cerminan moral yang beretika akan menunjang tercapainya kualitas pelayanan yang baik pula.
Selanjutnya yang perlu juga diketahui adalah tentang Teknik Komunikasi Yang Baik, yaitu : Menggunakan kata dan kalimat yang baik menyesuaikan dengan lingkungan, Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh lawan bicara, Menatap mata lawan bicara dengan lembut, Memberikan ekspresi wajah yang ramah dan murah senyum, Gunakan gerakan tubuh / gesture yang sopan dan wajar, Bertingkah laku yang baik dan ramah terhadap lawan bicara, Memakai pakaian yang rapi, menutup aurat dan sesuai sikon, Tidak mudah terpancing emosi lawan bicara, Menerima segala perbedaan pendapat atau perselisihan yang terjadi, Mampu menempatkan diri dan menyesuaikan gaya komunikasi sesuai dengan karakteristik lawan bicara, Menggunakan volume nada intonasi suara serta kecepatan bicara yang baik.
Konsep Etika Pelayanan Sipil dan Publik
Ditinjau dari perspektif teoritik saat ini paradigma pelayanan sipil dan publik telah mengarah pada new public service. Dalam model new public service ini pelayanan sipil dan publik mengarah pada persamaan hak diantara sipil dan publik. Kepentingan sipil dan publik dirumuskan sebagai hasil dialog dari berbagai nilai yang ada di dalam masyarakat. Birokrasi yang dilakukan harus bertanggung jawab kepada sipil ( warga negara ) dan publik (masyarakat) secara keseluruhan. Selain itu, model ini tidak saja menuntut pertanggungjawaban pada berbagai aturan hukum saja tetapi juga harus bertanggung jawab pada nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Jika dipahami secara keseluruhan berdasarkan uraian tentang new public service ini pelayanan sipil dan publik harus responsif terhadap kepentingan dan nilai-nilai warga negara dan masyarakat. Pelayanan sipil dan publik harus mengadung preferensi nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Lingkungan kehidupan sipil dan publik sangat dinamis oleh sebab itu pelayanan sipil dan publik yang dilakukan harus mampu mengikuti perkembangan kehidupan sipil dan publik.
Pelayanan publik model baru harus bersifat non diskriminatif yang menjamin adanya persamaan warga negara dan masyarakat tanpa membedakan asal-usul, ras, suku, agama, latar belakang pendidikan dan lain-lain. Artinya sipil dan publik diperlakukan sama sesuai dengan hak-hak mereka sesuai dengan syarat-syarat yang ada. Hubungan yang terjalin antara birokrat dengan sipil dan publik adalah hubungan impersonal sehingga terhindar dari sifat nepotisme dan primordialisme ( AG Suharsono, dalam Agus Dwiyanto : 2005 ).
Berdasarkan pandangan diatas, Leys ( Keban :1994 ) mengatakan bahwa seorang administrator dianggap etis apabila ia menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam membuat keputusan dan tidak mendasarkan keputusannya semata-mata pada kebiasaan dan tradisi yang ada. Standar etika bisa saja mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan karena itu administrator harus mampu memahami perkembangan dan bertindak sesuai standar perilaku tersebut ( Golembiewski, Keban : 1994 ). Hal ini berarti seorang aparat birokrat atau administrator harus bertanggung jawab untuk memperhatikan aspek etika dalam menyelenggarakan pelayanan sipil dan publik yang tidak saja melekat pada aspek efisiensi, aspek ekonomi dan prinsip-prinsip administrasi.
Melihat pada kondisi masyarakat saat ini yang lebih kritis diharapkan para aparat birokrasi lebih menyadari posisi dan perannya dalam memberikan pelayanan. Saat ini bukan lagi jamannya birokrat yang mengatur dan memerintah sipil dan publik tetapi mereka yang harus melayani dan tidak lagi menggunakan kekuasaan sebagai dalih. Para aparat birokrat juga harus mampu melayani secara lebih profesional, efektif, efisien, sederhana, transparan, responsive, adaptif.
Etika Komunikasi dalam Pelayanan Sipil dan Publik
Pelayanan sipil dan publik yang profesional adalah pelayanan yang dicirikan adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan yaitu aparatur pemerintah ( Widodo : 2001 ). Hal ini juga penting dilakukan secara beretika. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan sipil dan publik diatas kepentingan pribadi, kelompok dan organisasinya. Etika lebih diarahkan pada pilihan kebijakan yang mengutamakan kepentingan sipil dan publik secara luas. Selain itu pelayanan harus dilakuka secara adil tanpa membeda-bedakan berdasar status sosial dan ekonomi, suku, etnis, agama, partai dan lain-lain. Latar belakang pengguna layanan tidak boleh dijadikan sebagai pertimbangan dalam memberikan pelayanan. Penyelenggaraan layanan harus memberikan asas equal before the law ( kesamaan di depan hukum ). Prinsip ini memberikan akses yang sama bagi semua sipil dan publik dalam menerima pelayanan ( Dwiyanto : 2005 ). Perwujudan dari ini semua dapat dilakukan melalui penerapan etika berkomunikasi yang baik. Sebagai pelayanan masyarakat aparatur sudah seharusnya mampu melakukan teknik-teknik berkomunikasi yang baik selama memainkan perannya pada proses penyelenggaraan pelayanan.
Teknik berkomunikasi yang mengedepankan etika selama proses penyelenggaraan pelayanan adalah hal yang paling tepat dilakukan tujuan dan sasaran pelayanan dapat diselenggarakan dengan mudah, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami serta mencerminkan kejelasan dan kepastian terkait segala hal informasi mengenai prosedur tata cara pelayanan, persyaratan pelayanan, rincian biaya hingga jadwal penyelesaian pelayanan.
Aparat Birokrasi hendaknya memiliki daya tanggap dalam mengidentifikasikan kebutuhan masyarakat melalui komunikasi yang beretika. Kepiawaian untuk berinisiatif membuka dialog percakapan dapat membantu sipil dan publik yang membutuhkan pelayanan cepat dan tepat sesuai dengan kebutuhan pemenuhan hak-hak sipil dan publik. Peters dan Waterman, Dricker dan Deming, menempatkan pentingya mendengarkan pelanggan atau pengguna. Mereka memberi nasehat kepada para manajer untuk mempertemukan karyawan mereka secara langsung dengan pelanggan. Hewlett Packard meminta para pelanggan untuk membuat presentasi yang menggambarkan kebutuhan mereka ( Osbone : 1993 ). Mendengarkan pelanggan dalam hal ini sipil dan publik dapat dilakukan melalui proses komunikasi yang tidak monolog tetapi berdialog sehingga aparat selaku penyampai informasi tidak hanya meminta didengarkan tetapi juga mendengarkan pendapat dan keinginan sipil dan publik. Maksud dari mendengarkan adalah tidak hanya fokus pada sekelompok golongan warga negara dan masyarakat tertentu saja namun harus merata tanpa membedakan. Karena tugas aparat birokrasi memanglah demikian adanya. Dialog yang dilakukan hendaknya mengedepankan etika berkomunikasi yang tepat, tidak mengada-ada, dan tidak berusaha untuk melakukan bargaining atau tawar-menawar dalam perspektif negatif.
Fakta yang sering dijumpai adalah aparat birokrasi seringkali lebih memiliki etika dalam berkomunikasi selama pelayanan diselenggarakan hanya dengan pelanggan yang mereka anggap masuk dalam golongan eksekutif atau atasan dan golongan yang memiliki kekuasaan baik secara kedudukan maupun materi. Birokrasi pemerintah cenderung memberikan pelayanan yang lebih ekstra kepada mereka hingga mengesampingkan kepentingan sipil dan publik secara luas.
Kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam proses penyelenggaraan pelayanan. Osborne dan Plastrik (1997) mengenalkan ide Citizen’s Charter ( kontrak pelayanan ) yang artinya adalah standar pelayanan yang ditetapkan berdasarkan masukan pelanggan dan birokrasi berjanji untuk memenuhinya. Citizen’s charter merupakan suatu pendekatan dalam memberikan pelayanan yang menempatkan pengguna layanan sebagai sentral atau pusat perhatian. Melalui citizen’s charter birokrasi harus menetapkan sistem untuk menangani keluhan pelanggan ( sipil dan publik ) salah satunya dengan cara mengedepankan etika berkomunikasi selama proses pelaksanaan pelayanan.
Penutup
Berdasarkan uraian-uraian diatas yang menyajikan konsep-konsep ideal terkait dengan etika komunikasi dalam pelayanan sipil dan publik diharapkan aparat birokrasi pelaksana pemerintahan mampu melaksanakan dan memainkan perannya secara ideal dalam menjalankan tugas dan fungsi pokoknya melayani sipil dan publik. Hal ini dapat terwujud dengan kesadaran dari aparat itu sendiri dalam menerapkan etika komunikasi yang baik dalam melaksanakan pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mulyana, 2008, Teori Komunikasi-modul 10
Brownlee, Malcolm, 1991, Pengambilan Keputusan Etis , BPK Gunung Mulia, Jakarta
Dwiyanto, Agus, 2005, Mewujudkan Good Govermenance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press
Dwiyanto, Agus, Partini, Ratninto, Bambang Wicaksono, Tamtiari Wini, Kusumasari, dan Nuh Muhammad, 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Inodonesia , Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Yogyakarta.
Joko Widodo, 2001, Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Insan Cendekia, Surabaya.
Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, 2008, Etika Pelayanan Publik Tinjauan Teoritis , FISIPOL : UIR
Keban, Yeremias, 1994, Pengantar administrasi Publik, materi Kuliah Program MAP UGM, Yogyakarta
Kumorotomo, Wahyudi, 1992, Etika administrasi Negara , Rajawali Pers, Jakarta
Lenvine, Charles H, 1990, Public Administration : Chalenges, Choices, Consequences , Illions: Scott Foreman
Lijan Poltak Sinambela dkk, 2008, Reformasi Pelayanan Publik , Bumi Aksara : Jakarta
Maruto, MD; Anwari WMK, 2002, Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi , LP3ES : Jakarta
Onong Uchyana Effendi, 2001, Dimensi-Dimensi Komunikasi : Jakarta
Osborne, David dan Ted Gaebler, 1993, Reinventing Government : How The Entrepeneurial Spirit Is Tranforming The Public Sector , published by Plume, an imprint of Nwe American Library
Osborne, David : Peter Plastrik , 1999, Memangkas Birokrasi : Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha , terjemahan Abdul Rosyid, Ramelan, Pustaka Publik : Jakarta
Ratminto & Atik S.W, 2005, Manajemen Pelayanan, Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal , Pustaka pelajar : Yogyakarta
Ronald Adler dan George Rodman, 1997, Understanding Human Communication
Steward L.Tubbs dan Sylvia Moss, 1994, Human Communication
Tidak ada komentar:
Posting Komentar